Menteri Susi, Rokok dan Tato (Segmen-2)


Apa yang ingin saya katakan dari dialog di atas (maksud saya dialog di segmen akhir artikel sebelumnya) adalah, bahwa prinsip promotif preventif paling fundamental dalam upaya membangun tingkat proteksi yang setinggi-tingginya bagi generasi terhadap dampak negatif rokok adalah “jangan pernah memulainya”. Ya, jangan pernah memulai merokok. Prinsip ini yang benar-benar harus kita tanamkan kepada anak cucu kita. Bahwa kemudian kita (termasuk anak cucu kita) berhadapan dengan fakta public figur yang merokok, kita harus bijaksana menjelaskannya kepada mereka. [Bagi yang mungkin belum membaca segmen-1 artikel ini bisa langsung klik di Menteri Susi, Rokok dan Tato (Segmen-1)]

Dalam konteks Menteri Susi, ketika anak-anak kita sudah mulai tumbuh rasa ingin tahu mereka terhadap segala sesuatu, kesempatan bagi kita untuk menanamkan ke dalam hati mereka bibit-bibit kearifan membaca segala fakta. Katakan kepada mereka, “Nak, kita ini hidup di dunia. Tuhan sudah menggariskan dalam Kitab-Nya, bahwa inilah negeri ujian Nak, tempat dimana kita akan diuji dengan kebaikan dan keburukan”.

Kalau perlu (justru malah harus), bagi yang muslim, ajak anak-anak kita untuk membuka/membaca Al-Qur’an, tunjukkan kepada mereka keterangan pasti yang menyebutkan bahwa memang benar-benar kita akan diuji dengan kebaikan maupun keburukan di dunia ini, sebagaimana yang tertera dalam Surat Al-Anbiya: 35.

Terhadap Menteri Susi yang merokok, bukan hal yang bijak jika kita mengatakan kepada anak-anak bahwa Menteri Susi buruk. Tuntun anak-anak kita untuk meyakini bahwa sejatinya yang buruk itu adalah sifat adiktif tembakau dalam rokok itu, bukan Menteri Susi. Yang buruk adalah kandungan zat kimiawi karsinogenik dalam rokok itu, bukan Menteri Susi. Akan lebih baik lagi jika anak-anak kita diajak melihat fakta-fakta historis kebaikan Menteri Susi, termasuk ketika beliau belum menjadi menteri. Sampaikan kepada mereka, bahwa ketika Aceh dilanda bencana Tsunami yang memporak-porandakan hampir seluruh infrastruktur kehidupan beberapa tahun lalu, pesawat-pesawat Ibu Susilah justru yang berhasil mendarat pertama kali di sana membawa berbagai perlengkapan logistik dan bantuan kemanusiaan. Dan, masih banyak sekali hal-hal positif yang dilakukan oleh beliau yang bisa kita ceritakan kepada anak-anak kita agar mereka lebih kaya membaca sebuah fakta.

Intinya, jangan terburu-buru men-judge beliau dengan keburukan saja, hanya karena beliau merokok, karena dalam konteks beliau merokok, Ibu Susi justru adalah korban dari keburukan rokok. Dan inipun tidak muncul begitu saja. Seting sosiologis beliau juga perlu digali untuk bahan pengayaan bagi anak-anak kita. Bahwa Ibu kelahiran Pangandaran 15 Januari 1965 itu, pada awalnya adalah seorang bakul ikan. Ia hidup dan berinteraksi cukup intensif dengan banyak nelayan dan pedagang yang mayoritas perokok (bapak-bapak maupun ibu-ibu). Di titik ini, kita bisa berpesan kepada anak-anak kita, “cermati lingkungan pergaulan ya Nak, kalau kita kuat, kita bisa berpartisipasi membentuk lingkungan, tapi kalau tidak, lingkungan yang akan membentuk diri kita Nak”

Saya pribadi yakin bahwa tanpa mengurangi bobot kebenaran dan juga kesalahan sebuah fakta di hadapan kita, artinya yang benar tetaplah benar, yang salah tetaplah salah, dengan cara penilaian seperti di atas, meski tentu masih jauh dari sempurna, kita dan anak-anak kita bisa lebih memahami eksistensi sebuh fakta dalam perspektif pemahaman atau pemaknaan yang lebih utuh.

Realnya, saya pribadi ingin anak-anak saya memandang Menteri Susi itu sebagai Menteri yang banyak kebaikannya, dan sedikit kekurangannya. Kekurangan yg sedikit itu saya tidak ingin terjadi pada anak-anak saya. Tetapi sebaliknya, kebaikannya yang begitu banyak (salah satu yang sangat berkesan adalah sikap beliau yang sangat memuliakan ibunya) pantas untuk diteladani.

Sebagai penutup untuk segmen ini (sebelum saya mulai lagi besok atau lusa dengan segmen tentang tato), saya ingin menggarisbawahi lagi hal paling esensial dalam upaya membangun prinsip-prinsip promotif preventif terhadap “cengkeraman” rokok, yaitu, “jangan pernah memulainya”. Sekali memulainya, pintu-pintu kecanduan akan segera terbuka, dan tali-tali cengkeraman akan mulai dililitkan. Celakanya, dengan berbagai upaya, prinsip esensial inilah yang ingin dirobohkan oleh industri rokok melalui senjata pencitraan iklan yang manipulatif. (Bersambung)

Post a Comment for "Menteri Susi, Rokok dan Tato (Segmen-2)"