Quick Count Transaksional dan Moralitas Akademik

Editorial Harian  Jawa Pos, Jumat 11 Juli 2014 cukup telak menyorot hasil quick count sejumlah lembaga survey baru-baru ini. Quick count yang sejatinya dilakukan untuk mengontrol proses real count yang sering kali rawan kecurangan, ditengarai justru malah menambah daftar kecurangan itu sendiri. Kalau sinyalemen ini pada saatnya bisa dibuktikan kebenarannya, betapa menyedihkan, menyakitkan, dan bahkan memalukan.

Lebih malu lagi kita di hadapan dunia internasional, sebab Indonesialah mungkin satu-satunya negara yang seluruh pasangan Capres-Cawapresnya sama-sama mendeklarasikan sebagai  pemenang pemilu versi quick count. Logika statistik apa yang dipakai sampai kemudian harus muncul dua “presiden” dalam periode yang sama? Dengan ungkapan yang satiris, Tajuk Rencana Jawa Pos menulis: kampus-kampus di Indonesia harus malu. Jangan-jangan masyarakat dunia menyangka tidak ada mata kuliah statistik di perguruan tinggi di Indonesia, sehingga membuat quick count saja tidak becus.


Quick Count Transaksional

Eksistensi lembaga survey di Indonesia benar-benar sedang dipertaruhkan  kredibilitasnya dalam pilpres tahun ini. Hidup matinya lembaga survey itu ke depan, akan banyak ditentukan oleh cara mereka merespon perbedaan diametral hasil quick count saat ini. Lembaga survey yang masih bisa memiliki nyawa kehidupan di masa-masa mendatang, hanyalah mereka yang bisa  meyakinkan ke publik (dalam tempo-tempo rawan penuh kegamangan ini ) bahwa lembaga survey mereka bukan “pedagang” statistik; quick count yang mereka rilis bukan quick count transaksional.

Kalau lembaga-lembaga survey yang merilis quick count itu bisa membuktikan hal di atas, atau bisa meyakinkan (kepada publik) orisinalitas data mereka sesui dengan kaidah-kaidah ilmiah-akademik, maka lembaga mereka masih layak untuk hidup. Kalau tidak, berakhir sudah kehidupan mereka. Riwayat mereka akan masuk (atau dimasukan) dalam keranjang sampah sejarah kelam yang mereka buat sendiri, dan publik mungkin tidak akan sempat menyampaikan belasungkawa atas “kematian” lembaga yang tidak indah seperti itu.

Bagaimana membuktikannya? Tidak sulit-sulit amat sih sebenarnya. Cukup lembaga survey itu memberikan (atau mempublikasikan) dokumen otentik berisi data-data vital seperti jumlah TPS yang ditetapkan sebagai sampel, jumlah populasi sampel yang diambil, daftar peneliti yang terlibat (semua by name by address), ditambah dengan hasil rekam grafis aliran data quick count sejak entri awal hingga proses entri berakhir.

Jika skema pembuktian seperti di atas bisa ditempuh secara meyakinkan, maka itu sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa lembaga survey tersebut sudah berada di atas  jalan yang benar. Kalau gagal membuktikan, maka itulah lembaga survey yang tersesat dan sekaligus menyesatkan.

Dari seluruh lembaga survey yang merilis quick count, baik yang ada di kubu Prabowo-Hatta maupun kubu Jokowi-JK, tidak mungkin seluruhnya benar, dan (mudah-mudahan juga) tidak mungkin seluruhnya salah. Yang paling mungkin adalah, ada yang benar, dan ada yang salah. Atau lebih tepatnya: ada lembaga survey yang jujur, dan ada lembaga survey yang bohong.


Moralitas Akademik

Sebagai bagian dari komunitas akademik, atau komunitas yang pernah lahir dari rahim akademik, para peneliti di lembaga survey manapun di dunia ini sepatutnya untuk selalu memegang teguh moralitas akademik. Ungkapan singkat yang bisa mewakili ini adalah: para peneliti, sebagaimana pula halnya para ilmuwan, mereka boleh salah, tetapi mereka tidak boleh berbohong.

Integritas ilmiah runtuh bukan karena kesalahan, melainkan karena kebohongan. Kesalahan lebih banyak berkonotasi manusiawi, dan bahkan tidak jarang dari kesalahan (trial and error) kemudian ditemukan kebenaran (ilmiah). Berbeda dengan kesalahan, kebohongan justru berkonotasi dengan kerendahan moral, keburukan akhlak, dan bahkan kelemahan iman.

Kalau dalam kesalahan masih terdapat pintu kebenaran, maka dalam kebohongan hanya terbuka satu pintu, yakni pintu kesesatan. Dan karena kebohongan lebih dekat nuansanya dengan penodaan amanah, maka jangan heran kalau kebohongan bisa mencabik-cabik kedamaian  negeri ini. Nauzubillahi mindzalik.


Untuk menutup tulisan singkat ini, perkenankan saya mencantumkan dua kutipan berikut: “Ingatlah hari ketika lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (Surat An-Nur: 24). “Pada  hari itu Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (Surat Yaasin: 65). Wallahua’lam. (La Ode Ahmad)

Post a Comment for "Quick Count Transaksional dan Moralitas Akademik"